Thursday 9 June 2011

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Isu Lingkungan Hidup di Indonesia

hahha...thought I've lost my mind for writing this. Udah keseringan nulis laporan ilmiah sains yang bener-bener-berdasarkan-data-dan-fakta, jadi ga terbiasa lagi nulis opini. well, this is it *terpaksa mode: on >_<
bab i pendahuluan

A.    latar belakang
               Penulis mengangkat tema mengenai “Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang Belum Tuntas” diantara 11 tema lainnya mengenai Permasalahan Pokok/Tantangan pada masa kepresidenan SBY. Alasan utama, karena bidang yang paling mendekati dengan studi penulis (studi hubungan antara manusia dan lingkungan) adalah tema ini. Alangkah lebih baik bila suatu permasalahan dianalisis oleh orang yang tepat atau yang mendalami suatu subjek yang berkaitan. Bukan berarti orang dari studi sains tidak boleh membahas tema Perundang-undangan ataupun Pelembagaan Politik dan sebagainya, hanya saja hasil yang diberikan tampaknya terasa kurang mengenai sasaran. Alasan lainnya yakni Penulis memiliki minat tersendiri mengenai environmental issues dan memiliki cukup pengalaman mengikuti seminar-seminar mengenai problema lingkungan. Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang berperan sebagai paru-paru dunia, kini tengah menjadi world-attention-center sehingga problema lingkungan yang dialami Indonesia akan pula dikritisi oleh negara-negara lainnya. Harga diri Indonesia akan dipertaruhkan apabila Indonesia yang telah berkomitmen untuk turut menjaga lingkungan hidup dunia ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan lingkungan hidup yang muncul di dalam negeri.
              
B.    permasalahan
               Permasalahan SDA dan lingkungan hidup di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak yang terjadi sejak periode-periode sebelum masa kepresidenan SBY. Ambil contoh kontrak karya dengan PT Freeport yang terjadi pada masa kepresidenan Soeharto, selain itu illegal logging pun telah menjadi isu umum yang diketahui secara luas sejak dulu. Namun permasalahannya adalah kasus-kasus tersebut tidak pula terselesaikan dan bahkan terbengkalai pada masa pemerintahan SBY, bahkan permasalahan bertambah kompleks.
               Setelah diselenggarakannya UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) pada tahun 2007 di Bali, Indonesia kemudian bertugas menjaga “hutan dunia” sementara negara-negara maju mengalirkan dana untuk Indonesia menjalankan tugas tersebut. Lalu pada 2009 Human Rights Watch melaporkan ketidakpercayaannya terhadap Indonesia dalam penuntasan Climate Change karena terdeteksinya korupsi di sektor kehutanan hingga mencapai 2 milyar dolar per tahun. Hal ini menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan negara-negara lain terhadap peran Indonesia dalam pengaplikasian Bali Roadmap (keputusan-keputusan hasil konferensi UNFCCC).
               Problema lingkungan hidup ini tidak hanya menentukan image Indonesia di mata dunia, namun juga berpengaruh pada kondisi ekonomi negara Indonesia. Permasalahan lain yang belum tuntas, dan bahkan semakin miris, diantaranya yakni kejadian kebakaran hutan, dominasi asing pada sektor migas dan pertambangan, pengelolaan sampah yang tidak benar disertai dengan deforestasi tanpa reboisasi yang dapat mengakibatkan bencana alam, illegal logging yang dilakukan baik oleh perusahaan tertentu ataupun pihak asing gelap serta dugaan adanya bantuan dari oknum internal negara Indonesia, dan terjadinya berbagai pelanggaran UU Lingkungan Hidup oleh perusahaan-perusahaan sehingga mengakibatkan kerusakan alam dan kerugian masyarakat sekitar.

bab ii masalah

               Berikut uraian dan contoh kasus yang terjadi pada permasalahan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup:

A.    Korupsi pada sektor kehutanan
         ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan bahwa dugaan korupsi di sektor kehutanan kemungkinan terjadi dalam proyek dana reboisasi kehutanan dimana modusnya adalah dengan menggelembungkan biaya subsidi reboisasi hutan tanaman industri (HTI). Dugaan korupsi ini dibuktikan dengan adanya audit Ernest and young yang pernah menyatakan ada indikasi korupsi sekitar 15 Triliun dalam pengelolaan korupsi dana reboisasi. Catatan ICW menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa keuangan (BPK) pada tahun 2004, pernah menemukan adanya dana reboisasi 2,8 triliun yang tidak jelas pertanggungjawabannya.

Faktor pendukung pemecahan masalah
         Peningkatan kegiatan “pemberantasan korupsi” yang dilakukan KPK. Hingga Desember 2010, KPK telah mencatat ditemukannya 17 kelemahan sistemik pada sektor kehutanan yang merupakan titik rentannya terjadi korupsi. Bahkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mendukung penuh atas kinerja KPK memberantas korupsi dan menegakkan hukum di sektor kehutanan.
Faktor penghambat pemecahan masalah
         Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa banyak kasus korupsi di sektor kehutanan yang melibatkan banyak pihak menguap begitu saja. Banyak ditemukan kasus korupsi di sektor kehutanan, tapi kasusnya kemudian hilang begitu saja tanpa pengusutan lebih lanjut dan penyelesaian.

B.    Kejadian kebakaran hutan
         Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Pada tahun 1982-1983 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963. Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997-1998 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar. Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktorat Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar.

Faktor pendukung pemecahan masalah
         Salah satu pendukungnya yaitu dengan adanya bantuan dari luar negeri untuk reboisasi. Program REDD (Reducing Emissions from Deforestatrion and Degradation) atau pengurangan emisi dari penggundulan dan kerusakan hutan, menjadi kesempatan yang baik. Norwegia telah memberikan komitmen bantuan kepada Indonesia dalam kerangka REDD ini. Dalam kerangka REDD ini, Inggris siap membantu Indonesia mengucurkan dana sekitar 30 juta dolar AS melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Pada tahun ini, Inggris telah memberikan 500 ribu dolar AS untuk mendukung Indonesia Forest Climate Alliance. Capaian lain, saat melakukan retreat dengan sejumlah kepala negara/ pemerintahan dan Sekjen PBB sehari sebelum penutupan konferensi, Australia menyatakan komitmennya melakukan kerjasama reboisasi dengan Indonesia.
         Adanya bantuan pesawat pemadam kebakaran dari luar negeri, diantara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Hercules dari USA untuk kebakaran di Lampung.
Faktor penghambat pemecahan masalah
         Terlalu luasnya area hutan di Indonesia menjadi salah satu penghambat masalah ini. Kebakaran yang terjadi karena proses alami, seperti yang terjadi karena sambaran petir, benturan longsoran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan, dapat meluas dan menjadi kebakaran besar bila tidak cepat diatasi.
         Faktoe penghambat lainnya yaitu kemiskinan dan ketidakadilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah, kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah, serta upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.

C.     Dominasi asing pada sektor migas dan pertambangan
         Perusahaan tambang asing, terutama China dan India, masuk menguasai tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan. Tanpa disadari, Indonesia sudah menjadi hulu sumber daya untuk China dan India. Mereka sangat agresif mencari sumber daya batubara sebagai pengganti minyak di luar negeri, sementara cadangan migas dan tambangnya sengaja disimpan. Mengacu data British Petroleum Statistical Review, Indonesia yang hanya memiliki cadangan batubara terbukti 4,3 miliar ton atau 0,5 persen dari total cadangan batubara dunia menjadi pemasok utama batubara untuk China yang memiliki cadangan batubara terbukti 114,5 miliar ton atau setara 13,9 persen dari total cadangan batubara dunia. Dengan rata-rata produksi 340 juta ton per tahun, sekitar 240 juta ton diekspor, cadangan terbukti batubara Indonesia akan habis dalam 20 tahun. Jika ini dibiarkan, Indonesia terancam menjadi importir minyak sekaligus batubara.
         Di sektor migas, penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025. Saat ini porsi nasional hanya 25 persen, sementara 75 persen dikuasai asing. Dominasi asing pada sektor migas dan pertambangan itu, dengan penguasaan wilayah kerja yang meluas dan tersebar dari wilayah Sabang di barat sampai Papua di timur Nusantara, membuat kedaulatan negara dan bangsa rawan.

Faktor penghambat pemecahan masalah
         Eksploitasi sumber daya mineral strategis sebagai komoditas semakin tidak terkendali dengan penerapan otonomi daerah. Pemerintah mencatat ada 8.000 izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kondisi itu semakin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumber daya batubara dan mineral.

D.    Pengelolaan sampah yang tidak benar disertai deforestasi tanpa reboisasi yang dapat mengakibatkan bencana alam
         Cukup banyak terjadi bencana pasca deforestasi yang terjadi selama ini. Dibuktikan oleh terjadinya banjir ditahun 2003 sebanyak 26 propinsi & 136 kabupaten. Tanah longsor di 48 kabupaten & 13 propinsi. Sebanyak 263.071 ha sawah terendam banjir dan 66.838 ha sawah puso di 11 propinsi. Sedangkan mengenai pengelolaan sampah yang tidak benar, terjadi pula bencana alam yang memakan korban. Pada bulan Februari 2005 terjadi kejadian longsor sampah yang menewaskan hampir 200 jiwa di Bandung. Hal ini menjadi pembelajaran bagi otoritas lokal dalam penanganan permasalahan sampah.
        
Faktor pendukung pemecahan masalah
         Diadakannya program Adipura dan Menuju Indonesia Hijau oleh pemerintah merupakan salah satu jalan keluar dari masalah ini. Program Adipura tidak hanya mengumumkan kota-kota terbersih dan terbaik, namun juga kota-kota yang terkotor, sebagai bentuk kebijakan Reward dan Punishment. Pengumuman kota dengan predikat terburuk bertujuan untuk memicu semangat semua pemangku kepentingan di kota yang dimaksud untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan perkotaan.
         Program Menuju Indonesia Hijau dikembangkan untuk mengevaluasi komitmen Daerah dalam melakukan upaya konservasi dan preservasi lingkungan hidup. Evaluasi terhadap komitmen daerah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup dilakukan dengan menggunakan metodologi pencitraan satelit dan verifikasi lapangan.

E.     Illegal logging yang dilakukan baik oleh perusahaan tertentu ataupun pihak asing gelap serta dugaan adanya bantuan dari oknum internal negara Indonesia

         Industri kayu memiliki potensi dalam pembalakan liar. Hal ini juga terjadi disparitas volume ekspor yang di-cross-check datanya di negara pengimpor sangat berbeda. Ekspor di China misalnya, di negara tersebut terjadi perbedaan data sebesar 99%. Dari awal pengeksporan sebesar 6.100 m3 kemudian setelah di-cross-check yang diterima sebesar 617.700 m3. peristiwa yang sama juga terjadi di Malaysia. dari data tersebut terjadi disparitas yang cukup signifikan sebesar 99%. Data awal yang menunjukan tidak adanya aktivitas ekspor, namun setelah dicek, di negara itu masuk kayu impor sebesar 623.000 m3. Dari kejadian tersebut, negara mengalami kerugian yang sangat besar sejumlah 22-23 triliun rupiah per tahun.
         Tidak hanya itu saja, pembalakan liar juga sering terjadi oleh karena pemangkasan hutan kayu terjadi di luar konsesi, tidak memiliki izinnya perusahaan kayu untuk penebangan hutan namun perusahaan itu tetap melakukan pembalakan, serta penggunaan IPK yang semena-mena guna pembukaan kebun.

Faktor penghambat pemecahan masalah
         Adanya oknum dari dalam negeri yang diduga membantu illegal logging merupakan penghambat penyelesaian masalah ini. Seperti contohnya adalah ketika Menti Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengaku telah menemukan jalan yang biasa digunakan untuk mengakut kayu ilegal (logging) yang cukup panjang di kawasan suaka margasatwa perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia. Perusahaan penebangan kayu yang diduga dari Malaysia itu tidak bekerja sendiri, namun diduga ada oknum orang Indonesia yang terlibat dalam usaha tersebut karena jalan `logging` itu berada dalam kawasan suaka margasatwa, sehingga tidak mungkin tidak diketahui oleh pihak setempat.
         Faktor lainnya yakni terlalu luasnya area hutan dan banyaknya area yang susah terjangkau sehingga sulit untuk secara optimal memantau seluruh kawasan.

F.     Terjadinya berbagai pelanggaran UU Lingkungan Hidup oleh perusahaan-perusahaan sehingga mengakibatkan kerusakan alam dan kerugian masyarakat sekitar
         Hingga kini beberapa perusahaan besar yang beroperasi masih terbukti melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan UU Lingkungan Hidup. Berdasarkan hal ini perlu diambilnya tindakan tegas pemerintah agar kasus seperti Lumpur Lapindo, yakni peristiwa menyemburnya lumpur panas Lapindo di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006, tidak terulang kembali.
         Perusahaan lain yang terlibat pelanggaran UU Lingkungan Hidup salah satunya adalah proyek PLTA Asahan I yang dibangun oleh PT Bajradaja Sentranusa. Pasalnya, proyek tersebut berjalan tanpa mengantongi izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Merujuk surat Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan, Hermin Rosita, perihal hasil audit lingkungan atas PLTA Asahan I, terungkap bahwa beberapa hal memang tidak sesuai Amdal, di antaranya pengendalian pencemaran air tidak sesuai dengan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Selain itu, manajemen limbah padat B3 (Bahan berbahaya dan Beracun) dari PLTA Asahan I juga tidak sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sedangkan untuk pengelolaan limbah B3 di PLTA Asahan I, tidak sesuai dengan PP Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3.

Faktor pendukung pemecahan masalah
a.      Ketegasan oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup
b.     Bantuan dari LSM
c.      Laporan oleh masyarakat yang menjadi korban
d.     Program Proper yang diadakan pemerintah. Sejak tahun 2006, program PROPER mengeluarkan kebijakan bahwa akan dilakukan upaya penegakan hukum bagi Perusahaan atau Industri yang secara berturut-turut mendapatkan peringkat hitam. Selanjutnya, di tahun 2006 diskriminasi terhadap perusahaan besar dan Multi Nasional (MNC) dihapuskan. Sebagai contoh, perusahaan multi nasional PT Freeport Indonesia mengikuti program PROPER. Direncanakan KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) akan mengumumkan peringkat kinerja dari 525 industri pada awal 2007.

bab iii kesimpulan

               Kekuatan pelestarian lingkungan perlu mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan politik primer dalam hal ini partai politik (lokal maupun nasional), serta perlunya keberdayaan masyarakat luas (termasuk civil society) dan inisiatif lokal yang mampu berperan secara efektif melalui mekanisme demokrasi dalam mendorong kepentingan pelestarian lingkungan. Berbagai permasalahan SDA dan Lingkungan Hidup yang terjadi selama ini seperti korupsi pada sektor kehutanan, kejadian kebakaran hutan, dominasi asing pada sektor migas dan pertambangan, pengelolaan sampah yang tidak benar disertai dengan deforestasi tanpa reboisasi yang dapat mengakibatkan bencana alam, illegal logging yang dilakukan baik oleh perusahaan tertentu ataupun pihak asing gelap serta dugaan adanya bantuan dari oknum internal negara Indonesia, dan terjadinya berbagai pelanggaran UU Lingkungan Hidup oleh perusahaan-perusahaan, tidaklah harus menyurutkan langkah kita untuk terus-menerus berjuang dalam upaya pelestarian lingkungan. Masyarakat memiliki peran penting dalam upaya pemecahan masalah SDA dan lingkungan hidup ini, baik dengan cara sendiri ataupun dengan mendukung program pemerintah.

No comments:

Post a Comment